Agama asli Nusantara 3
Sejarah
Konon,
sebelum masuknya Islam, masyarakat yang mendiami pulau Lombok
berturut-turut menganut kepercayaan animisme, dinemisme kemudian Hindu.
Islam pertama kali masuk melalui para wali dari pulau Jawa yakni sunan
Prapen pada sekitar abad XVI, setelah runtuhnya Kerajaan Majapahit.
Bahasa pengantar yang digunakan para penyebar tersebut adalah Bahasa
Jawa Kuno. Dalam menyampaikan ajaran Islam, para wali tersebut tidak
serta merta menghilangkan kebiasaan lama masyarakat yang masih menganut
kepercayaan lamanya. Bahkan terjadi akulturasi antara Islam dengan
budaya masyarakat setempat, karena para penyebar tersebut memanfaatkan
adat-istiadat setempat untuk mempermudah penyampaian Islam. Kitab-kitab
ajaran agama pada masa itu ditulis ulang dalam bahasa Jawa Kuno. Bahkan
syahadat bagi para penganut Wetu Telu dilengkapi dengan kalimat dalam
bahasa Jawa Kuno. Pada masa itu, yang diwajibkan untuk melakukan
peribadatan adalah para pemangku adat atau kiai saja.
Dalam
masyarakat lombok yang awam menyebut kepercayaan ini dengan sebutan
“Waktu Telu” sebagai akulturasi dari ajaran islam dan sisa kepercayaan
lama yakni animisme, dinamisme dan kerpercayaan Hindu. Selain itu karena
penganut kepercayaan ini tidak menjalankan peribadatan seperti agama
Islam pada umumnya (dikenal dengan sebutan “Waktu Lima” karena
menjalankan kewajiban salat Lima Waktu).Yang wajib menjalankan
ibadah-ibadah tersebut hanyalah orang-orang tertentu seperti kiai atau
pemangku adat (Sebutan untuk pewaris adat istiadat nenek moyang).
Kegiatan apapun yang berhubungan dengan daur hidup
(kematian,kelahiran,penyembelihan hewan,selamatan dsb) harus diketahui
oleh kiai atau pemangku adat dan mereka harus mendapat bagian dari
upacara-upacara tersebut sebagai ucapan terima kasih dari tuan rumah.
Lokasi
Lokasi yang terkenal dengan praktik Wetu Telu di Lombok adalah daerah
Bayan, yang terletak di Kabupaten Lombok Barat. Pada lokasi ini masih
dapat ditemukan masjid yang digunakan oleh para penganut Wetu Telu. Ada
juga sebuah tempat yang digunakan oleh umat berbagai agama untuk
berdoa. Namanya Kemaliq yang artinya tabu, suci dan sakral.terletak di
desa Lingsar Kabupaten Lombok Barat, yang setiap tahun mengadakan sebuah
upacara adat yang bernama Upacara Pujawali Dan Perang Topat“ sebagai
wujud rasa syukur atas hujan yang diberikan Tuhan YME pada umat manusia.
7. Marapu
Marapu adalah sebuah agama lokal yang dianut oleh masyarakat di Pulau
Sumba. Agama ini merupakan kepercayaan peninggalan nenek moyang dan
leluhur. Lebih dari setengah penduduk Sumba memeluk agama ini.
Pemeluk agama ini percaya bahwa kehidupan di dunia ini hanya sementara
dan bahwa setelah akhir zaman mereka akan hidup kekal, di dunia roh, di
surga Marapu, yang dikenal sebagai Prai Marapu.
upacara
keagamaan marapu ( seperti upacara kematian dsb) selalu diikuti dengan
pemotongan hewan seperti kerbau dan kuda swebagai korban sembelihan, dan
hal itu sudah menjadi tradisi turun – temurun yang terus di jaga di
Sumba.
AGAMA MARAPU
Agama Marapu adalah “agama asli”
yang masih hidup dan dianut oleh orang Sumba di Pulau Sumba, Nusa
Tenggara Timur. Dalam bahasa Sumba arwah-arwah leluhur disebut Marapu ,
berarti “yang dipertuan” atau “yang dimuliakan”. Karena itu agama yang
mereka anut disebut Marapu pula. Marapu ini banyak sekali jumlahnya dan
ada susunannya secara hirarki yang dibedakan menjadi dua golongan, yaitu
Marapu dan Marapu Ratu. Marapu ialah arwah leluhur yang didewakan dan
dianggap menjadi cikal-bakal dari suatu kabihu (keluarga luas, clan),
sedangkan Marapu Ratu ialahmarapu yang dianggap turun dari langit dan
merupakan leluhur dari para marapu lainnya, jadi merupakan marapu yang
mempunyai kedudukan yang tertinggi. Kehadiran para marapu di dunia nyata
diwakili dan dilambangkan dengan lambang-lambang suci yang berupa
perhiasan mas atau perak (ada pula berupa patung atau guci) yang disebut
Tanggu Marapu. Lambang-lambang suci itu disimpan di Pangiangu Marapu,
yaitu di bagian atas dalam menara uma bokulu (rumah besar, rumah pusat)
suatu kabihu. Walaupun mempunyai banyak Marapu yang sering disebut
namanya, dipuja dan dimohon pertolongan, tetapi hal itu sama sekali
tidak menyebabkan pengingkaran terhadap adanya Yang Maha Pencipta.
Tujuan utama dari upacara pemujaan bukan semata-mata kepada arwah para
leluhur itu sendiri, tetapi kepada Mawulu Tau-Majii Tau (Pencipta dan
Pembuat Manusia), Tuhan Yang Maha Esa. Pengakuan adanya Yang Maha
Pencipta biasanya dinyatakan dengan kata-kata atau kalimat kiasan, itu
pun hanya dalam upacara-upacara tertentu atau peristiwa-peristiwa
penting saja. Dalam keyakinanMarapu, Yang Maha Pencipta tidak campur
tangan dalam urusan duniawi dan dianggap tidak mungkin diketahui
hakekatnya sehingga untuk menyebut nama-Nya pun dipantangkan. Sedangkan
para Marapu itu sendiri dianggap sebagai media atau perantara untuk
menghubungkan manusia dengan Penciptanya. Kedudukan dan peran para
Marapu itu dimuliakan dan dipercaya sebagai lindi papakalangu – ketu
papajolangu (titian yang menyeberangkan dan kaitan yang menjulurkan,
sebagai perantara) antara manusia dengan Tuhannya. Selain memuja arwah
leluhur, juga percaya bahwa benda-benda dan tumbuh-tumbuhan di
sekitarnya berjiwa dan berperasaan seperti manusia, dan percaya tentang
adanya kekuatan gaib pada segala hal atau benda yang luar biasa. Untuk
mengadakan hubungan dengan para arwah leluhur dan arwah-arwah lainnya,
orang Sumba melakukan berbagai upacara keagamaan yang dipimpin oleh ratu
(pendeta) dan didasarkan pada suatu kalender adat yang disebut Tanda
Wulangu. Kalender adat itu tidak boleh diubah atau ditiadakan karena
telah ditetapkan berdasarkan nuku-hara (hukum dan tata cara) dari para
leluhur. Bila diubah dianggap akan menimbulkan kemarahan para leluhur
dan akan berakibat buruk pada kehidupan manusia. Dalam kepercayaan agama
Marapu, roh ditempatkan sebagai komponen yang paling utama, karena roh
inilah yang harus kembali kepada Mawulu Tau-Majii Tau. Roh dari orang
yang sudah mati akan menjadi penghuni Parai Marapu (negeri arwah, surga)
dan dimuliakan sebagai Marapu bila semasa hidupnya di dunia memenuhi
segala nuku-hara yang telah ditetapkan oleh para leluhur. Menurut
kepercayaan tersebut ada dua macam roh, yaitu hamangu (jiwa, semangat)
dan ndiawa atau ndewa (roh suci, dewa). Hamangu ialah roh manusia selama
hidupnya yang menjadi inti dan sumber kekuatan dirinya. Berkat hamangu
itulah manusia dapat berpikir, berperasaan dan bertindak. Hamangu akan
bertambah kuat dalam pertumbuhan hidup, dan menjadi lemah ketika manusia
sakit dan tua. Hamangu yang telah meninggalkan tubuh manusia akan
menjadi makhluk halus dengan kepribadian tersendiri dan disebut ndiawa.
Ndiawa ini ada dalam semua makhluk hidup, termasuk binatang dan
tumbuh-tumbuhan, yang kelak menjadi penghuni parai marapu pula. Hampir
seluruh segi-segi kehidupan masyarakat Sumba diliputi oleh rasa
keagamaan. Bisa dikatakan agama Marapu sebagai inti dari kebudayaan
mereka, sebagai sumber nilai-nilai dan pandangan hidup serta mempunyai
pengaruh besar terhadap kehidupan masyarakat yang bersangkutan. Karena
itu tidak terlalu mudah mereka melepaskan keagamaannya untuk menjadi
penganut agama lain. Walaupun dalam budaya Sumba tidak dikenal bahasa
tulisan, orang Sumba mempunyai kesusasteraan suci yang hidup dalam
ingatan para ahli atau pemuka-pemuka agama mereka. Kesusasteraan suci
ini disebut Lii Ndai atau Lii Marapu yang diucapkan atau diceriterakan
pada upacara-upacara keagamaan diiringi nyanyian adat. Kesusasteraan
suci dianggap bertuah dan dapat mendatangkan kemakmuran pada warga
komunitas dan kesuburan bagi tanaman serta binatang ternak.
Upacara-upacara keagamaan dan lingkaran hidup yang mereka laksanakan,
terutama upacara kematian, diselenggarakan secara relatif mewah sehingga
memberi kesan pemborosan. Namun bagi orang Sumba, hal tersebut mereka
lakukan untuk mengungkapkan rasa terima kasih kepada Yang Maha Esa,
tanda hormat dan bakti pada para leluhur, serta menjalin rasa
solidaritas kekerabatan diantara mereka. Pada setiap upacara keagamaan
berbagai bentuk kesenian biasanya ditampilkan pula. Dapat dikatakan
bahwa kesenian merupakan pengiring bagi religi mereka. Upacara-upacara
keagamaan di Sumba selalu dianggap keramat, karena itu tempat-tempat
upacara, saat-saat upacara, benda-benda yang merupakan alat-alat dalam
upacara serta orang-orang yang menjalankan upacara dianggap keramat
pula. Mereka menyembah Mawulu Tau — Majii Tau dengan perantaraan para
marapu yang merupakan media antara manusia dengan Penciptanya. Setiap
kabihu mempunyai marapu sendiri yang dipujanya agar segala doa dan
kehendaknya disampaikan kepada Maha Pencipta. Para marapu itu
diupacarakan dan dipuja di dalam rumah-rumah yang didiami oleh warga
suatu kabihuterutama di rumah yang disebut uma bokulu (rumah besar,
rumah pusat) atau uma bungguru (rumah persekutuan). Di dalam rumah
itulah dilakukan upacara-upacara keagamaan yang menyangkut kepentingan
seluruh warga kabihu, misalnya upacara kelahiran, perkawinan, kematian,
menanam, memungut hasil dan sebagainya. Tempat upacara pemujaan kepada
paramarapu bukan hanya di dalam rumah saja, tetapi juga di luar rumah,
yaitu di katoda, tempat upacara pamujaan di luar rumah berupa tugu
(semacam lingga-yoni) yang dibuat dari sebatang kayu kunjuru atau kayu
kanawa yang pada sisi-sisinya diletakkan batu pipih. Di atas batu pipih
inilah bermacam-macam sesaji, seperti pahapa (sirih pinang),
kawadaku(keratan mas) dan uhu mangejingu (nasi kebuli) diletakkan untuk
dipersembahkan kepada Umbu-Rambu (dewa-dewi) yang berada di tempat itu.
Di dalam suatu paraingu biasanya terdapat pemujaan kepada satu marapu
ratu (maha leluhur). Misalnya, maha leluhur di Umalulu ialah Umbu Endalu
dan dipuja dalam suatu rumah kecil yang tidak dihuni manusia, karena
itu rumah pemujaan tersebut bernama Uma Ndapataungu (rumah yang tak
berorang) yang dalam luluku (bahasa puitis, berbait)disebut sebagai Uma
Ndapataungu — Panongu Ndapakelangu (rumah yang tak berorang dan tangga
yang tak berpijak). Menurut kepercayaan orang Umalulu, Umbu Endalu
mendiami rumah tersebut secara gaib. Secara lahir rumah itu tampak kecil
saja, tetapi secara gaib rumah itu sebenarnya merupakan rumah besar.
Mereka menganggap Umbu Endalu senantiasa berada di dalam rumah tersebut,
karena itu tangga untuk naik turun ke rumah selalu disandarkan. Rumah
permujaan Uma Ndapataungu disebut juga Uma Ruu Kalamaku (rumah daun
keIapa) karena atapnya dibuat dari daun kelapa; dan Uma Lilingu (rumah
pemali), karena untuk datang dan membicarakan rumah tersebut harus
menurut adat atau tata cara yang telah ditetapkan oleh para leluhur
pula. Uma Ndapataungu berbentuk uma kamudungu (rumah tak bermenara) dan
menghadap ke arah tundu luku (menurut aliran air sungai, hilir ) serta
terletak di bagian kani padua (pertengahan, pusat) dari Paraingu
Umalulu. Adapun bahan-bahan yang digunakan untuk membangun rumah
pemujaan itu ialah kayu ndai linga atau ai nitu (cendana) yang digunakan
untuk tiang-tiang (jumlah seluruh tiang dari rumah pemujaan ini ada
enam belas buah tiang), atap dan dinding dari bahan ruu kalamaku (daun
kelapa), tali pengikat dari bahan huaba (selubung mayang kelapa).
Bahan-bahan tersebut harus diambil dari suatu tempat yang bernama Kaali —
Waruwaka dan sekitarnya. Upacara-upacara keagamaan yang dilakukan di
Uma Ndapataunguialah upacara Pamangu Kawunga yang dilaksanakan empat
tahun sekali, yaitu bertepatan dangan diperbaikinya tempat pemujaan
tersebut; dan upacara Wunda lii hunggu — Lii maraku, yaitu upacara
persembahan yang dilaksanakan setiap delapan tahun sekali. Menurut
pandangan orang Sumba, manusia merupakan bagian dari alam semesta yang
tak terpisahkan. Hidup manusia harus selalu disesuaikan dengan irama
gerak alam semesta dan selalu mengusahakan agar ketertiban hubungan
antara manusia dengan alam tidak berubah. Selain itu manusia harus pula
mengusahakan keseimbangan hubungan dengan kekuatan-kekuatan gaib yang
ada di setiap bagian alam semesta ini. Bila selalu memelihara hubungan
baik atau kerja sama antara manusia dengan alam, maka keseimbangan dan
ketertiban itu dapat dipertahankan. Hal tersebut berlaku pula antara
manusia yang masih hidup dengan arwah-arwah dari manusia yang sudah
mati. Manusia yang masih hidup mempunyai kewajiban untuk tetap dapat
mengadakan hubungan dengan arwah-arwah leluhurnya. Mereka beranggapan
bahwa para arwah leluhur itu selalu mengawasi dan menghukum keturunannya
yang telah berani melanggar segala nuku — hara sehingga keseimbangan
hubungan antara manusia dengan alam sekitarnya terganggu. Untuk
memulihkan ketidakseimbangan yang disebabkan oleh perbuatan manusia
terhadap alam sekitarnya dan mengadakan kontak dengan para arwah
leluhurnya, maka manusia harus melaksanakan berbagai upacara. Saat-saat
upacara dirasakan sebagai saat-saat yang dianggap suci, genting dan
penuh dengan bahaya gaib. Oleh karena itu, saat-saat upacara harus
diatur waktunya agar sejajar dengan irama gerak alam semesta. Pengaturan
waktu untuk melakukan berbagai upacara itu didasarkan pada kalender
adat, tanda wulangu. Dalam jangka waktu kehidupan tiap individu dalam
masyarakat Sumba ada saat yang dianggap genting atau krisis, yaitu saat
kelahiran, menginjak dewasa, perkawinan dan kematian. Pada saat-saat
seperti itulah upacara keagamaan biasanya dilaksanakan. (P.
Soeriadiredja). MARAPU : AGAMA ASLI ORANG UMALULU di SUMBA TIMUR
(P. Soeriadiredja, LABANT – FS UNUD, DENPASAR 2002)
Makna istilah “agama” sering menimbulkan banyak kontroversi yang lebih
besar daripada arti penting permasalahannya. Pada umumnya di Indonesia,
istilah agama digunakan untuk menyebut semua agama yang diakui secara
resmi oleh negara, seperti Islam, Katolik, Protestan, Hindu dan Budha.
Sedangkan semua sistem keyakinan yang tidak atau belum diakui secara
resmi disebut “religi” (Koentjaraningrat, 1974:137-142). Untuk
menyatukan persepsi dan tidak menimbulkan perdebatan berkepanjangan,
serta pertimbangan bahwa suatu sistem keyakinan atau religi merupakan
suatu agama hanya bagi penganutnya, dan juga melihat situasi dari yang
menghayatinya, meyakininya dan mendapat pengaruh darinya, maka dalam
pembahasan ini akan digunakan istilah “agama” saja untuk menyebut suatu
sistem keyakinan yang dianut oleh masyarakat penganutnya. Pernyataan
tersebut penulis tekankan karena bertujuan hendak mendekati agama
sebagai bagian dari kehidupan sosio-kultural dari masyarakat yang
bersangkutan. Jadi terlepas dari kekeramatan dan kesucian yang terkait
padanya secara dogmatis. Hendak melihat suatu kenyataan dari sudut
pandang pelaku. Secara umum, Parsudi Suparlan (dalam
Robertson,1988:v-xvi) mendefinisikan agama sebagai seperangkat aturan
dan peraturan yang mengatur hubungan manusia dengan dunia gaib,
khususnya dengan Tuhannya, mengatur hubungan manusia dengan manusia
lainnya, dan mengatur hubungan manusia dengan lingkungannya. Secara
khusus, agama didefinisikan sebagai suatu sistem keyakinan yang dianut
dan tindakan-tindakan yang diwujudkan oleh suatu kelompok atau
masyarakat dalam menginterpretasi dan memberi tanggapan terhadap apa
yang dirasakan dan diyakini sebagai yang gaib dan suci. Bagi para
penganutnya, agama berisikan ajaran-ajaran mengenai kebenaran tertinggi
dan mutlak tentang eksistensi manusia dan petunjuk-petunjuk untuk hidup
selamat di dunia dan di akhirat. Karena itu pula agama dapat menjadi
bagian dan inti dari sistem-sistem nilai yang ada dalam kebudayaan dari
masyarakat yang bersangkutan, dan menjadi pendorong serta pengontrol
bagi tindakan-tindakan para anggota masyarakat tersebut untuk tetap
berjalan sesuai dengan nilai-nilai kebudayaan dan ajaran-ajaran
agamanya. Sebagai inti dari sistem nilai yang ada dalam kebudayaan,
sistem keyakinan ini seolah-olah berada di luar dan di atas diri para
individu yang menjadi warga masyarakat yang bersangkutan. Para individu
itu sejak kecil telah diresapi dengan nilai-nilai tersebut yang hidup
dalam masyarakatnya sehingga konsepsi-konsepsi itu sejak lama telah
berakar dalam alam jiwa mereka. Itulah sebabnya nilai-nilai tersebut
sukar diganti dengan nilai-nilai lain (Koentjaraningrat,1974:13,32-33)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar